Sabtu, 18 September 2010

Hukum di Mataku

Sabtu, 18 September 2010

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 1 ayat 3, yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Lantas, timbul satu pertanyaan. Apakah latar belakangnya sehingga kita mengklaim negara kita sebagai negara hukum?

Cobalah sejenak kita tilik sejarah negara kita. Sejak zaman dahulu, masyarakat kita sudah mengenal hukum tak tertulis, yang disebut hukum adat. Masing-masing suku memiliki hukum adatnya sendiri. Masyarakat amat tunduk dan patuh terhadap hukum adat tersebut, meskipun barangkali tak pernah ada yang mengumumkan apa saja aturan yang berlaku di suku tersebut. Semua orang tunduk dan patuh terhadap aturan yang berlaku di daerahnya. Para pemimpin amat mencintai dan memperhatikan rakyatnya. Begitupula dengan rakyatnya, sangat menghormati pemimpinnya. Masyarakat hidup berdampingan, penuh toleransi, aman, dan tenteram. Bisa anda bayangkan betapa nyamannya hidup kala itu. Kita ingat saat kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit berjaya. Meskipun wilayah kekuasaannya lebih luas daripada luas wilayah Indonesia saat ini, rasa-rasanya rakyat masih bisa hidup lebih layak dan sejahtera. Anda tahu kenapa? Karena, tingkat kesadaran hukum dan moralitas yang tinggi di kalangan masyarakat. Mereka akan merasa malu dan hina jika melanggar hukum adat yang ada. Dan karena itu jugalah tingkat kriminalitas saat itu terbilang kecil.

Lalu, bagaimana dengan realitas kehidupan sekarang?

Dalam hidup memang harus ada hukum atau aturan. Karena jika tidak, tentulah kehidupan ini sudah kacau-balau. Sebagai masyarakat awam, saya melihat banyak orang yang mengernyitkan dahi jika ditanya tentang hukum. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang jelas, ada hawa menyudutkan dari sorot mata mereka. Diantara mereka ada yang mengidentikkan hukum dengan korupsi, koruptor. Ada pula yang mengatakan kalau hukum itu sama halnya dengan politik, kotor.

Saya teringat dengan pernyataan yang saya sampaikan kepada kakak kelas saya bahwa setelah lulus SMA nanti saya ingin melanjutkan sekolah di jurusan hukum. Beliau sedikit terperangah, karena setahu dia, dulu saya tidak tertarik dengan bidang hukum, meskipun saya anak dari seorang praktisi hukum. Saat ditanya kenapa, saya hanya menjawab, ”Cari peluang kerja. Kalau di hukum kan lumayan banyak juga.” Beliau lalu sedikit menasehati saya. ”Hati-hati lho dek. Mahasiswa hukum saja sudah banyak yang belajar korupsi.” Entah hal tersebut yang gumuni atau memang saya yang gumunan, saya merespon dengan mulut menganga dan berkata, ”Waw!” Benar-benar miris. Mahasiswa hukum yang nantinya menjadi tumpuan negara ini justru sudah belajar ngorup. Na’udzubillahi min dzalik. Inikah gambaran hukum di masa mendatang. Kapan negara ini akan maju kalau begitu caranya?

Hukum tak melulu diidentikkan dengan korupsi. Nyatanya ayahku masih bersikap bersih dan adil dalam menjalankan tugasnya. Imej buruk tersebut amat sangat tidak layak untuk ditujukan kepada ayahku. Sebagai pemeluk Islam, ayahku benar-benar memegang teguh ajarannya. Ayahku seorang yang taat beragama dan tentulah takut terhadap dosa. Ayahku juga percaya bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan di dunia ini pastilah mendapat balasan di hari akhir nanti. Maka dari itu, ayahku sangat amanah dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Meskipun berat dan aral sering menghadang, ayahku tetap teguh dengan apa yang diyakininya, yaitu kejujuran. Sikap itulah yang selalu beliau tanamkan kepada anak-anaknya. Beliau juga sering bercerita saat sedang sidang dalam penyelesaian sebuah perkara. Banyak hal-hal lucu, menarik, dan menegangkan dari apa yang kusimak dari cerita ayah. Itulah yang membuatku tertarik dengan hukum. Bagiku hukum itu adalah seni. Ada permainan akal dan hati, yang disusun menjadi sebuah strategi dalam menyelesaikan perkara. Hukum itu indah, jika didasari dengan sebuah kejujuran, keikhlasan, dan bersyukur terhadap pemberian Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Saat tulisan ini kubuat, aku masih duduk di bangku kelas XII SMA. Kelak, akan kutunjukkan pada dunia tentang seni dan keindahan hukum. Akan kuturutkan keinginan orang tuaku. Tujuanku ingin menjadi seorang hakim yang arif, bijaksana, dan bersih. Alternatifnya, aku ingin menjadi seorang dosen dan menjadi ahli hukum, dan jika Allah menghendaki, aku juga ingin menjadi seorang menteri hukum dan HAM dan mengajak seluruh lapisan masyarakat agar sadar dan taat hukum. Dan suatu hari nanti kau akan tahu kawan, betapa indahnya seni hukum jika kau mampu menghayatinya.

Karanganyar, Mendala, Sirampog, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah,

11 September 2010, selesai pukul 21.32 WIB.

 
◄Design by Pocket